Jejak Panjang Darso

Hendarso (Darso the phenomenon)

Oleh: Rakhmat Hidayat

Penulis adalah Mahasiswa Departemen Ilmu Pendidikan Université Lumière Lyon 2, Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta & Pengagum Darso

Gaya-nya nyentrik.Sering mengenakan jaket kulit, jeans warna hitam, kaos warna hitam, sepatu boot, rambut agak gondrong dan kaca mata hitam. Tidak ketinggalan dengan rokok-nya. Itulah sosok Darso. Tidak heran, penampilannya ini yang menjadikan dirinya disapa Michael Jakson dari Sunda.

Kita tidak lagi bisa menyaksikan penampilan nyentriknya Darso setelah seniman dari tanah Sunda ini meninggal dunia, Senin 12 September 2011 pukul 15.00 WIB. Ia dikenal sebagai seniman yang egaliter dan merakyat. Meski sudah terkenal, Darso tak pernah mematok tarif tertentu kepada para pengundangnya. Kadangkala ia juga rela dibayar seadanya. Menariknya, ia masih mau diundang acara hajatan perkawinan di daerah Bandung dan sekitarnya. Kadangkala bahkan ia rela tak dibayar oleh si pengundang.

Suatu saat ia juga pernah mengatakan bahwa tidak masalah jika lagu-lagunya dibajak. Ia berpikiran itu dianggapnya sebagai ibadah untuk menyenangkan banyak orang. Di lain kesempatan, lagu-lagunya banyak dijadikan nada dering (ring back tone) seluler. Bahkan, beberapa operator seluler tidak meminta izin kepadanya. Bukan Darso jika tak mengikhlaskannya. Dengan enteng Darso mengatakan “Tapi aingmah embung lieur. Ken bae-lah teu menta izin, teu meureu duit ge. Mun erek diuruskeun, teu apal jalurna kudu kamana. Meureun keur neangan sangu”. Kurang lebih artinya,

“Saya gak mau pusing. Biarkan saja tidak minta izin juga, gak ngasih uang juga. Kalau mau diurus, gak tahu jalurnya bagaimana. Mungkin itu (membajak lagunya) untuk cari makan”.

Sebagai seniman Sunda, sosoknya memang unik, nyentrik dan fenomenal.Dia menghasilkan ratusan lagu dan puluhan album musik yang lirik-liriknya sangat familiar, sederhana dan menggambarkan kehidupan sehari-hari. Beberapa lagu terkenal yang dinyanyikan Darso antara lain Kabogoh Jauh, Sarbo'ah, Cing Naon, dan lain-lain.

Darso bukan satu-satunya seniman Sunda yang melestarikan budaya Sunda dalam industri musik nasional. Sejak musik Sunda dipopulerkan tahun 1950, Koko Koswara yang akrab disapa Mang Koko sudah sejak awal merintis musik Sunda dengan berbagai kreatifitasnya. Bahkan, kiprah Mang Koko sendiri sering disebut sebagai perintis music Sunda. Mang Koko pula-lah yang melahirkan beberapa musisi Sunda lainnya seperti Nano S.Nano. Sosok Darso adalah produk dari perkembangan music Sunda era 1970-an.Meskipun, fase signifikan perkembangan musik Sunda sendiri berkembang pada tahun 1960-an dengan kehadiran penyanyi Upit Sarimanah yang telah meninggal 11 Februari 1992, Euis Komariah yang meninggal pada 11 Agustus 2011, Titim Patimah, Iar Winarsih. Pada fase ini musik Sunda juga berhasil melakukan kolaborasi yang apik dengan musik genre lain seperti Jazz misalnya dengan Jack Lesmana atau kolaborasi dengan Idris Sardi.

Generasi Darso boleh dikatakan sebagai angkatan 1970an bersamaan dengan beberapa musisi lainnya diantaranya Mus DS, Hetty Koes Endang, Detty Kurnia yang sudah meninggal pada 20 April 2010, atau Nining Meida. Pada waktu itu Darso sering duet dengan Detty Kurnia yang dikenal memiliki suara sangat bagus dan dijuluki 'mawar putih'. Pada tahun ini, sosok Darso menjadi fenomenal dengan penampilan yang energik dan atraktif. Ia menyanyikan lagu berjudul 'Kabogoh Jauh' yang menggambarkan realitas anak muda yang melakukan hubungan/pacaran jarak jauh.Istilah anak baru gede (ABG) sekarang adalah 'long distance relation' (LDR).

Penampilan Darso yang energik dan atraktif sejatinya karena Darso terinspirasi oleh sosok Michael Jackson. Selain dijuluki Michael Jackson dari Sunda, Darso juga dikenal sebagai “Raja Musik Pop Sunda”. Darso juga dijuluki the Phenomenon. Ada juga yang menyebut Darso dengan Michael Darso. Semua julukan itu oleh Darso dianggap sebagai apresiasi terhadap karya dan kiprahnya dan tentu saja tak pernah mempermasalahkannya. Pada Desember 2009, Universitas Padjajaran (Unpad) menggelar konser tunggal Darso dengan tajuk “Sang Phenomenon”.

Periode ini juga ditandai dengan diproduksinya lagu Sunda oleh Bimbo dan meledaknya lagu 'Kalangkang” dan “Potret Manehna” yang dinyanyikan Nining Meida. Di akhir 1970-an, muncul sosok Doel Sumbang yang kemudian juga mewarnai dinamika musik pop Sunda.

Kepergian Darso tentu saja kehilangan bagi genre musik popular Sunda khususnya dan budaya Sunda umumnya. Pada tahun 1970an, Darso berhasil membawakan budaya Sunda dengan cara yang ngepop, menarik dan dengan bahasa yang sederhana. Tidak heran jika anak-anak muda di Jawa Barat pada era 1970-1980-an sangat mengenal sosoknya. Ia dapat diterima oleh berbagai kalangan dari kalangan dewasa hingga anak muda.

Kepergian Darso telah memberikan kontribusi penting dalam beberapa hal. Pertama, Darso terus memproduksi sekaligus mereproduksi budaya Sunda dalam berbagai karya-nya yang mencerminkan realitas sehari-hari dengan bahasa yang mudah dicerna. Kontribusi ini menjadikan Darso sebagai sosok budayawan Sunda yang populis di tengah masyarakat. Kedua, semakin mengukuhkan tradisi musik pop Sunda yang ngepop dan bahkan dapat dikatakan non mainstream, yaitu lebih atraktif, menarik dan seringkali diluar pakem dengan berbagai improvisasi yang dia kembangkan selama menyanyi. Lihat saja gaya maupun penampilannya yang sangat membedakan dengan penyanyi-penyanyi pop Sunda sebelum generasi Darso. Pada aras ini, sosok dan penampilannya saya kira tak tergantikan.

Sesungguhnya, kecintaan saya akan musik Sunda akan dituangkan dalam riset doktorat saya tentang Diskursus Modernitas dalam Musik Populer Sunda.Saya akan fokus pada perkembangan musik popular Sunda tahun 1950-1970-an. Saya sudah menulis proposal penelitian tersebut. Proposal tersebut saya ajukan ke salah seorang professor yang mendalami kajian musik popular di Universite d'Avignon, Prancis. Professor ini sudah bersedia membimbing saya untuk penelitian tema ini karena dia tertarik dengan substansi tema riset saya. Dalam daftar informan yang akan saya wawancarai, Darso adalah salah seorang informan kunci penelitian saya yang harus saya wawancarai. Rencananya tema ini akan mulai ditulis dengan kedatangan saya di kota Avignon, Prancis pada September 2011. Sayang, jalannya berkata lain. Saya tak melanjutkan tema musik popular Sunda karena saya sudah diterima oleh professor lain di Prancis dengan topik riset berbeda.

Pada Juli 2011, saya pun sudah pamit ke professor saya yang bersedia membimbing tema musik popular untuk tidak melanjutkan riset saya tersebut. Padahal, alasan saya meneliti tema musik popular Sunda karena memang belum ada riset sejenis yang dilakukan oleh akademisi lainnya. Di sisi lain, kita juga dihadapkan pada realitas meninggalnya Darso. Tentu saja, jika riset saya tentang musik popular Sunda dilanjutkan sementara Darso telah berpulang, saya kira riset saya akan berkurang kredibilitasnya dengan berpulangnya sang legenda, Darso. Belum lagi salah satu informan lainnya juga telah meninggal pada Agustus 2011 yaitu Euis Komariah. Tetapi Tuhan punya rencana lain. Rencana terbaik untuk saya maupun rencana terbaik untuk Darso. Selamat jalan sang Phenomenon.

Lyon-Prancis, 19 September 2011

1 comments:

Unknown said...

bagus kang,skrg jarang org peduli akan budayanya sndri,mnrut sy akang terusin risetnya walaupun sebagian tokoh2 seniman sunda sdh gk ada,maju terus budaya sunda.hatur nuhun

Post a Comment