Muchtar Buchori & Komitmen Pendidikan

Prof. Muchtar Buchori

Oleh: Rakhmat Hidayat

Penulis adalah Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta & Mahasiswa Doktoral Departemen Ilmu Pendidikan Université Lumière Lyon 2, Prancis

Saya pernah sekali berjumpa dengan Prof. Muchtar Buchori pada 4 November 2009 di kediamannya, kawasan Puri Bintaro, PB 8 Bintaro Jaya, Sektor 9, Tangerang Selatan. Saya berjumpa dengan beliau dalam rangka wawancara untuk riset yang saya lakukan tentang Gerakan Guru di Indonesia Pasca Orde Baru. Beberapa hari sebelumnya saya telepon beliau untuk janjian wawancara. No kontak beliau saya dapatkan dari Binny Buchori. Binny Buchori adalah putri kedua dari Muchtar Buchori.

Saat ini Binny Buchori aktif di lembaga swadaya masyarakat. Dalam e-mail yang masih tersimpan di inbox saya, tercatat saya menghubungi Binny Buchori pada 4 Agustus 2009. “Bapak pasti senang sekali diskusi dengan mas Rakhmat”, ungkap Binny dalam balasan e-mailnya kepada saya. Ketika saya kontak beliau, langsung merespon permohonan wawancara saya beliau dengannya. Cukup lama saya menghubungi beliau untuk janjian wawancara.Tak lain karena saya juga harus melaksanakan wawancara dengan beberapa informan lainnya.

Untuk menuju rumahnya memang sangat jauh. Apalagi posisi saya dari Rawamangun, Jakarta Timur. Sayapun tiba di rumahnya seperti yang sudah dijadwalkan. Usia beliau memang sudah sepuh, tetapi sama sekali tidak menghilangkan perhatian dan komitmennya terhadap pendidikan Indonesia. Hari-hari tuanya, ia habiskan dengan membaca dan menulis artikel terutama di Kompas dan The Jakarta Post. Kami berbincang hampir 1 jam tentang dinamika gerakan guru di Indonesia pasca orde baru. Buchori banyak mengkritik kiprah PGRI dalam ranah politik Orde Baru.Fokus riset antara lain juga menjelaskan posisi sosial politik PGRI selama dan pasca Orde Baru.

Riset saya berangkat dari tesis utama bahwa PGRI tak bisa dilepaskan dalam diskursus politik Orde Baru. Meskipun realitasnya, pasca Orde Baru, PGRI bukan lagi menjadi organisasi tunggal yang menyuarakan aspirasi dan kepentingan guru di Indonesia. Pada level ini, Buchori dengan jernih dan kritis memberikan analisa yang sangat komprehensif dalam wawancara yang saya lakukan. lahirnya oganisasi profesi baru karena respon dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap PGRI.

Dalam kesempatan wawancara tersebut, Buchori menjelaskan, “PGRI waktu Orde Baru menyandarkan diri kepada Golkar. Ini adalah dosa terbesar PGRI."

Kemudian lanjutnya, "Padahal pada saat awal didirikan semangat nasionalismenya sangat besar sekali. Misalnya, PGRI tidak setuju pendidikan guru yang hanya satu tahun. Namun pada saat Orde Baru nasionalisme PGRI mencair karena PGRI harus merapat kepada Golkar dalam konteks politik praktis. Di sini terdapat distorsi dalam PGRI dan membuat lahirnya organisasi-organisasi guru baru”, demikian ujarnya kepada saya.

Buchori memang dikenal sebagai praktisi dan pengamat pendidikan yang kritis terhadap pemerintah. Dalam wawancara itu, Buchori sempat mengatakan kepada saya, ketika Megawati Soekarnopoetri menjadi Presiden pada 1999, ia sempat ditawari sebagai Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas). Tapi dengan alasan dan pertimbangan tertentu, Buchori tidak menerima tawaran tersebut. Salah satu pertimbangannya seperti yang disampaikan kepada saya adalah karena factor usia. Ia memilih untuk mengabdikan dirinya sebagai anggota DPR Periode 1999-2004.Buchori menjadi anggota Komisi VI yang membawahi urusan pendidikan.

Mochtar Buchori yang dilahirkan di Yogyakarta 9 Desember 1926, dikenal sebagai penulis buku dan artikel-artikel pendidikan yang kritis dan produktif. Lulusan Harvard University Amerika Serikat 1975 ini pernah menjadi Pembantu Rektor Bidang Akademis IKIP Bandung (1964-1965), Direktur Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (1976-1977).

Di akhir wawancara saya sempat diskusi singkat tentang pengalaman akademiknya terutama ketika Buchori melakukan studi di luar negeri. Saya ingin mendapatkan pengalaman berharga darinya. Buchori banyak bercerita tentang pengalamannya selama ia studi di luar negeri. Sebagaimana diketahui, pada 1954-1957, Buchori pernah studi di University Nebraska, Amerika Serikat dengan mendalami kajian sejarah dan filosofi pendidikan.Gelar doktornya ia raih dari University Harvard pada 1975 dengan kajian perencanaan pendidikan.

Buchori mendapatkan beasiswa dari Ford Foundation. Ia menulis disertasi berjudul “An Evaluative Study of Public Service Programme for University Student in Indonesia”. Saya ingat, beliau memberikan satu nasehat berharga untuk saya adalah soal kemampuan bahasa asing jika ingin melanjutkan studi ke luar negeri, terutama bahasa Inggris.

Saya sebenarnya sengaja bertanya tentang pengalaman studi beliau karena saya juga bermaksud mendaftar beasiswa doktor ke Prancis yang diselenggarakan oleh Dirjen Dikti. Beliau sempat bertanya, apakah saya sudah belajar bahasa Prancis. Saya pun menjawab sedang belajar bahasa Prancis di CCF Jakarta. Setelah itu saya bermaksud mendapatkan Surat Rekomendasi dari beliau dalam rangka mendaftar beasiswa Dikti tersebut. Saya awalnya berharap beliau dapat memberikan saya surat rekomendasi sebagai seorang professor pendidikan. Sayang, beliau tidak berkenan memberikan saya surat rekomendasi itu karena beliau merasa kekritisannya sering bersebrangan dengan pejabat-pejabat di Depdiknas. Beliau beranggapan jika saya mendapatkan surat rekomendasi beliau, menurutnya dapat menjadi masalah untuk pendaftaran beasiswa saya. Awalnya saya berusaha meyakinkan beliau untuk tetap membuatkan surat rekomendasi. Tetapi, beliau tetap tidak berkenan memberikan saya sebuah surat rekomendasi. Akhirnya, sayapun pamit dari kediaman beliau.

Setelah pertemuan itu saya tidak lagi berjumpa lagi dengannya. Menariknya, hampir dua tahun kemudian kembali saya berjumpa dengan sosoknya meskipun perjumpaan itu tidak secara langsung. Saya kembali berjumpa dengan gagasan-gagasan cemerlangnya. Satu diantaranya adalah sebuah tulisan berjudul “The Evolution of Higher Education in Indonesia”. Buchori menulis artikel ini bersama Abdul Malik yang tertuang dalam sebuah buku berjudul “Asian Universities:Historical Perspective and Contemporary Challenges” (2004). Buku ini diedit oleh Philip G. Albatch dan Toro Umakoshi. Albatch adalah professor dalam kajian pendidikan tinggi di Boston College, Amerika sementara Umakoshi adalah professor dalam kajian pendidikan tinggi di University of Obirin, Tokyo.

Saya mulai akrab dengan tulisan Buchori dan Malik itu sejak Maret 2011 ketika saya mulai studi doktor di Lyon, Prancis. Tulisan Buchori dan Malik menjadi rujukan utama bagi akademisi Indonesia yang melakukan studi tentang pendidikan tinggi. Dalam tulisan itu, Buchori dan Malik menjelaskan empat hal penting. Pertama, mereka menjelaskan fase evolusi pendidikan Indonesia yaitu sejak periode prakolonial, periode kolonial (1831-1942) dan pendudukan Jepang (1942-1945), periode rekonstruksi (1945-1950), periode nasionalisasi dan ekspansi (1950-1965). Kedua, Buchori dan Malik juga menjelaskan beberapa isu dan realitas pendidikan tinggi di Indonesia seperti sistem pengajaran, akses dan penerimaan mahasiswa, kualitas pendidikan. Ketiga, mereka menjelaskan tentang relevansi pendidikan di Indonesia. Keempat, mereka juga menjelaskan dinamika pendidikan tinggi Islam.

Entah mengapa sejak minggu pertama Oktober 2011, saya kembali berjumpa dengan pemikiran Buchori dalam tulisannya itu. Sejak minggu itu saya meminjam buku Albatch dan Umakoshi dan kembali terus mendalami tulisan Buchori dalam rangka penulisan disertasi saya tentang pendidikan tinggi di Indonesia. Karenanya ketika mendengar kabar meninggalnya Buchori pada Minggu, 9 Oktober 2011 rasanya saya merasa kembali dekat dengan sosok dan pemikiran yang dikenal kritis tersebut. Meskipun secara fisik dan geografis, saya jauh darinya. Muchtar Buchori sudah tiada, tetapi gagasan dan karya-karya akademiknya terus menjadi rujukan akademisi di Indonesia dan manca negara.

Lyon-France, 10 Oktober 2011

0 comments:

Post a Comment