Jika Kota Berperan Mendidik Warganya, Apakah Kota Juga Anggota PGRI?

Penulis: Arie Fitria, Mahasiswa Doktoral Bidang Urbanisme, saat ini sedang studi dan berdomisili di Lyon (tulisan ini sebelumnya sudah dimuat di Harian Radar Lampung, 19 November 2011)

Pada bulan November, para pendidik di negeri ini merayakan hari PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) tepatnya tanggal 25. Peran guru dalam dunia pendidikan tentu tidak lagi diragukan, namun dalam penulis akan membahas bagaimanakah peran kota dalam pendidikan.

Apakah sebuah kota juga menjalankan peran sebagai pendidik bagi warganya? Bagaimana kota mendidik warganya?

Peran sebuah kota dalam pendidikan dimulai dari fungsi Kota sebagai sebuah ruang yang didalamnya dilaksanakan berbagai macam kegiatan, termasuk aktivitas dibidang pendidikan. Dalam pendidikan formal, peran sebuah kota tampak nyata dalam penyediaan kawasan pendidikan dan fasilitasnya.

Apakah hanya pada batasan itu saja sebuah kota berperan dalam memberikan pendidikan pada warganya?

The city is the form and symbol of an integrated social relationship; it is the seat of the temple, the market, the hall of justice, the academy of learning. Here in the city the goods of civilisation are multiplied and manifolded; here is where human experience is transformed intoviable signs, symbols of conduct, systems of order (Mumford, 1938, dalam Urban Studies, 1976)

Dari kutipan tersebut nampak bahwa ada interaksi kuat antara kota dengan penghuninya. Kota merupakan sebuah hasil karya manusia sehingga kota menggambarkan karakteristik penghuninya.

Dari bentuk penataannya dan model bangunan-bangunannya, sebuah kota akan memberikan pendidikan sejarah. Bangunan kuno yang terdapat di sebuah kota mentransfer sebuah histori dari sebuah dekade masa lalu penghuninya kepada para generasi penerusnya.

Kampung tua Gedung Batin, Kecamatan Blambangan Umpu, Way Kanan, Lampung misalnya, ia mampu menceritakan kepada generasi sekarang tentang bagaimana bangunan rumah di abad 18 dan sekaligus menggambarkan kebudayaan penghuninya masa itu. Sebagai guru dan sekaligus artefak sejarah, kota tidak mudah untuk diintervensi oleh kekuatan politik. Hal ini disebabkan kota akan menampilkan tahapan-tahapan pembangunan yang telah dilaluinya termasuk kebijakan politik yang diberlakukan kepadanya sehingga kota dapat menjadi identitas bagi wilayah tersebut.

Menganalisis, tahapan-tahapan pembangunan kota, penulis mengalogikan kota sebagai organisme, yang selalu mengalami perkembangan. Sebuah organisme dapat tumbuh dengan baik dan bertahan hidup jika ada asupan gizi yang cukup.

Demikian juga dengan kota, guna pertumbuhannya, sebuah kota membutuhkan jaringan suplai pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologinya, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam kota itu sendiri. Disinilah, kota memiliki peran yang signifikan terhadap pendidikan.

Interaksi kota dengan jaringan luar akan dipengaruhi oleh daya sentrifugalnya sehingga pengembangan kota akan bersifat ekstensif kearah pinggiran. Contoh yang dapat dicermati adalah perkembangan Kota Deli Serdang, Sumatera Utara yang dilakukan penelitian oleh seorang mahasiswa pasca sarjana Universitas Sumatera Utara tahun 2000.

Penelitian tersebut menyimpulkan dampak pengembangan kota terhadap kualitas kehidupan sosial masyarakat desa terhadap variabel pendidikan dengan komponen mengikuti pendidikan dan perubahan tingkah laku peserta didik adalah positif (Gea, 2000).

Perkembangan sebuah kota mampu mempengaruhi tingkat partisipasi peserta didik untuk merubah tingkah lakunya dan untuk mengikuti pendidikan formal.

Apakah dalam upaya pemenuhan kebutuhannya tersebut, sebuah kota mampu mengakomodir sebuah lingkungan yang adaptif terhadap anak? Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kevin Lynch (Syahrul, 2004) pada tahun 1971-1975 menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah lingkungan yang memenuhi beberapa kriteria berikut:

  1. Mempunyai komuniti yang kuat secara fisik dan sosial,
  2. Komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas,
  3. Memberi kesempatan bermain pada anak,
  4. Memiliki fasilitas pendidikan yang memungkinkan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka.
Namun yang terjadi saat ini kondisi-kondisi fisik kota dipersepsikan anak sebagai sesuatu yang menyesakkan. Bangunan-bangunan beton yang menjulang keangkasa dan maraknya bangunan-bangunan pusat perbelanjaan, telah merenggut ruang bermain mereka.

Kota akan memberikan pendidikan bahasa, psikologi sosial dan olah raga dalam kemampuannya menyediakan ruang publik. Ketersediaan ruang publik akan memberikan ruang bermain bagi anak sehingga anak-anak memiliki kesempatan untuk melakukan aktivitas fisik yang akan berdampak positif bagi fisik-motorik untuk tumbuh kembang otot-tulang dan penanaman rasa percaya diri mereka.

Pelajaran psikologi sosial diperoleh ketika masyarakat saling berinteraksi di ruang publik. Kegiatan ini akan melahirkan rasa empati, toleransi yang pada akhirnya akan membentuk rasa solidaritas dan kepekaan sosial. Melalui interaksi, pertukaran kosakata akan terjadi sehingga kemampuan bahasa seseorang akan meningkat, khususnya kemampuan menyimak dan berbicara.

Bagaimana Kota mendidik warganya untuk disiplin dan menghargai waktu?

Peran kota dalam mendidik warganya untuk disiplin dan menghargai waktu dapat saja dianggap mengada-ada, namun pada faktanya kota memiliki peran untuk pembentukan kepribadian warganya.

Pelayanan Umum (service public) yang diberikan oleh kota merupakan media yang dapat digunakan oleh kota untuk membentuk kedisiplinan bagi warganya. Mengambil contoh service public pada bidang transportasi di Negeri Napoleon.

Gambar: Bus gandeng yang beroperasi di Kota Lyon

Kota Lyon di Perancis menyediakan berbagai moda transportasi seperti 4 jalur Metro (kereta api bawah tanah), 4 jalur tram, 2 jalur tunel, 120 jalur bus umum, 100 jalur angkutan anak sekolah dan sepeda (http://www.tcl.fr).

Moda transportasi tersebut dilengkapi dengan peta dan jadwal yang dapat dikonsultasikan di website maupun pada masing-masing halte. Warga yang akan berpergian dapat melihat jadwal moda trasportasi yang akan digunakan sehingga ia akan tahu jam berapa ia harus keluar rumah dan sampai di tempat tujuan tanpa terlambat.

Bagaimana jika ia terlambat sampai di halte?

Tentu saja warga tidak dapat menghentikan bus disembarang tempat. Ia harus menunggu bus berikutnya. Hal ini bukanlah menjadi sanksi melainkan sebuah konsekuensi, namun untuk musim gugur dan musim dingin, berada di halte selama 10-15 menit dalam temperature di bawah 10° tentu saja akan tersiksa.

Dalam penggunaan sepeda kota, warga dapat menggunakannya secara gratis pada 30 menit pertama. Warga juga dididik untuk menjaga fasilitas umum ini, jika terjadi kerusakan atau sepeda tidak kembali pada stasiunnya dalam 24 jam. 150€ akan di-debet dari rekeningnya.

Lalu bagaimanakah dengan kota yang selalu diwarnai dengan penuh sesak kendaraan yang macet atau badan jalan yang menjadi sempit karena adanya terminal bayangan? Kota tersebut dapat mencerminkan warganya dalam menghargai waktu dan berdisiplin.

Bagaimana kota tersebut mampu menjalankan fungsinya sebagai pendidik sebagaimana uraian diatas, modal utama yang dibutuhkan adalah political will dari Pemerintah yang didukung oleh sektor swasta serta adanya peran serta masyarakat untuk dapat menjaga fasilitas umum yang tersedia.

Sumber:

  1. Gea, Ibelala. 2000. Analisis Dampak Pengembangan Kota Terhadap Kualitas Kehidupan Sosial Masyarakat. Universitas Sumatera Utara; Tesis
  2. Situs resmi Transport Publik Lyon. http://www.tcl.fr diakses tanggal 4 November 2011
  3. Syahrul, Fitriani F. 2004. Dampak Pembangunan Kota Terhadap Tumbuh-Kembang Anak: Tinjauan Psikologis. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional ”Kota Ramah Anak, Jakarta, 12 Oktober 2004.
  4. Urban Studies, 1976 dipublikasikan www.sagepub.com diakses Tanggal 4 November 2011

(*) Catatan:
- Tulisan ini juga dapat dibaca di blog penulis di http://ariefitria.wordpress.com/
- Diedit seperlunya oleh admin

0 comments:

Post a Comment